Menjawab Tantangan Global dari Pulau Morotai
Mari memulainya dengan sebuah pertanyaan: Apakah Anda tahu Pulau Morotai?
Tentu ini bukan sekadar pertanyaan, melainkan sebuah penegasan untuk menyingkap kembali eksistensi Pulau Morotai di pikiran para generasi. Kita akan menjawabnya dengan singkat namun mengakar, bahwa Pulau Morotai adalah sebuah gugusan strategis di ujung timur Indonesia, tepatnya di Maluku Utara.
Pulau ini tidak hanya memiliki nilai geografis dengan hamparan wisata yang elok, tetapi juga menyimpan warisan sejarah yang membuatnya dikenal di kancah global. Sejarah panjang Pulau Morotai, mulai dari era Perang Dunia hingga kini menjadi sebuah kabupaten, adalah magnet tersendiri dalam peta budaya, ekonomi, dan sosial.
Dibalik itu semua, agar Morotai tidak hanya dikenang sebagai catatan sejarah masa lalu, tetapi juga berkontribusi aktif dalam masa depan, maka pilar utama yang harus diperkuat adalah pendidikan, khususnya melalui institusi yang berakar pada nilai-nilai keislaman dan kebangsaan: madrasah.
Gerakan Literasi Madrasah (GALATAMA): Sebuah Jalan Menuju Kebangkitan Peradaban
Dalam konteks madrasah, pendidikan bukan hanya transmisi ilmu, tetapi juga proses transformasi ruhani dan akhlak.
Seperti ditegaskan oleh Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa pendidikan harus melahirkan manusia yang tidak hanya berilmu (‘alim), tetapi juga beradab (adib).
Hal ini sejalan dengan gagasan Ibnu Sina, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sarana untuk membawa potensi manusia menuju kesempurnaan, melalui latihan akal dan jiwa.
Indonesia, khususnya Pulau Morotai di era digital dan globalisasi, memiliki tantangan tersendiri. Salah satu kunci transformasi itu adalah literasi. Literasi tidak lagi hanya berarti kemampuan membaca dan menulis, melainkan mencakup kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi informasi, serta mengekspresikan ide secara lisan maupun tulisan dalam berbagai konteks.
Dengan kata lain, literasi menjadi kompetensi abad ke-21 yang sangat vital untuk bertahan dan berkontribusi dalam masyarakat global.
Gerakan Literasi Madrasah (GALATAMA): Menyemai Moderasi, Menuai Peradaban
Di tengah arus global yang cepat dan masif, Gerakan Literasi Madrasah (GALATAMA) yang digagas oleh Kementerian Agama Provinsi Maluku Utara, H. Amar Manaf, adalah jawaban atas tantangan zaman.
Sejak diresmikan, kegiatan ini tidak sekadar menjadi rutinitas pendidikan, melainkan merupakan proyek transformasi sosial-kultural yang berangkat dari akar lokalitas dan religiositas.
Agar semakin mengakar, GALATAMA perlu diwujudkan dalam bentuk kegiatan konkret, yaitu Festival GALATAMA. Festival ini menjadi medium strategis untuk:
- Meningkatkan minat dan kemampuan literasi peserta didik, sehingga mereka mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
- Menanamkan nilai-nilai moderasi beragama melalui karya sastra dan pidato, sebagai kebutuhan mendesak di tengah dunia yang kerap terpolarisasi.
- Menumbuhkan budaya membaca dan berdiskusi, menciptakan komunitas belajar yang hidup dan dinamis.
- Memberikan ruang ekspresi dan apresiasi bagi siswa dan guru madrasah, sebagai bentuk penghargaan atas karya dan bakat literasi mereka.
Festival ini juga membuka ruang kompetisi dan ekspresi dalam tiga bahasa:
✅ Bahasa Indonesia (akar identitas)
✅ Bahasa Arab (tradisi keilmuan Islam klasik)
✅ Bahasa Inggris (jembatan komunikasi global)
Morotai dan Madrasah: Dari Pinggiran Menuju Pusat Peradaban Dunia
Dalam literatur filsafat Islam klasik, Al-Farabi berbicara tentang al-Madinah al-Fadilah (negara utama), yakni masyarakat ideal yang dibangun di atas pondasi akal, kebajikan, dan pengetahuan.
Pulau Morotai, meskipun secara geografis berada di ujung timur Indonesia, sejatinya menyimpan potensi besar untuk menjadi pusat kebudayaan baru, apabila ditopang oleh pendidikan yang mencerahkan.
Mulla Sadra, tokoh filsuf Muslim, menekankan konsep al-harakah al-jawhariyyah (gerak substansial), bahwa segala sesuatu, termasuk manusia dan masyarakat, memiliki kapasitas untuk berubah dan berkembang secara substansial menuju kesempurnaan.
Dalam konteks ini, Festival GALATAMA yang akan diselenggarakan di Pulau Morotai adalah wujud nyata dari gerak substansial itu. Ia bukan hanya aktivitas sesaat, melainkan perjalanan spiritual dan intelektual bagi para generasi siswa-siswi madrasah, untuk membentuk insan kamil—manusia yang tercerahkan akal, hati, dan tindakannya.
Literasi dan Tanggung Jawab Sosial
Rendahnya tingkat literasi di Indonesia, sebagaimana diungkap oleh berbagai laporan internasional seperti PISA, turut dipertegas oleh seorang filsuf yang belakangan ini cukup dikenal di Indonesia, yaitu Rocky Gerung.
Dalam beberapa kesempatan, ia sering menyuarakan betapa krusialnya kemampuan literasi bagi rakyat Indonesia. Ia menekankan bahwa rendahnya kualitas literasi terlihat jelas, bahkan dalam ekspresi negatif seperti hinaan, yang sebenarnya mencerminkan kekurangan dalam aspek pendidikan masyarakat.
Hal demikian menunjukkan bahwa kita masih menghadapi tantangan serius:
- Kurangnya budaya membaca
- Akses informasi yang tidak merata
- Ketimpangan kualitas pendidikan
Kondisi ini berpotensi menghambat pembangunan sosial, memperlebar kesenjangan, dan memperlemah daya saing bangsa.
Namun sebagaimana ditegaskan oleh Iqbal, seorang filsuf Muslim, pendidikan adalah rekonstruksi diri dan masyarakat.
Oleh karena itu, Gerakan Literasi Madrasah (GALATAMA) tidak bisa dipandang sebagai urusan lembaga pendidikan semata. Ia adalah proyek peradaban yang melibatkan keluarga, komunitas, media, dan negara.
Membangun Peradaban dari Timur
Sebagai penutup, Gerakan Literasi Madrasah (GALATAMA) di Pulau Morotai bukanlah sekadar kegiatan biasa. Ia adalah narasi besar tentang bagaimana ujung timur Indonesia, Maluku Utara, turut membentuk masa depan bangsa.
Ketika Gerakan Literasi Madrasah berpadu dengan nilai religiusitas, dan pendidikan dipandu oleh pemikiran Islam, maka madrasah akan menjadi mercusuar dari timur: menerangi kegelapan, menghubungkan sejarah dan masa depan Indonesia.
Akhirnya, izinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan jiwa optimis:
Eksistensi Pulau Morotai akan terus membumi dalam catatan sejarahnya, dan dari Morotai, kita belajar bahwa peradaban bisa dibangun dari pinggiran timur Indonesia.
Kita patut meyakini, dari madrasah, kita tahu bahwa pendidikan bukan sekadar pengisi waktu, tetapi penentu arah sejarah.