Di satu pagi yang semarak di Dermaga Ternate, sekelompok ASN muda asal Morotai bersiap kembali ke tempat tugas mereka. Mereka baru saja dikukuhkan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) di lingkungan Kementerian Agama.
SK telah diterima, sumpah telah diucapkan, dan semangat pengabdian kembali ditambatkan ke tanah kelahiran. Namun, ada yang unik dari rombongan ini: selain koper dan keresek, beberapa di antara mereka memanggul... bibit nanas!
Inilah rombongan Kemenag Morotai, dipimpin oleh sosok enerjik, Ibu Lina, sang Koordinator Kepegawaian.
“Ibu Lina bukan cuma bawa data pegawai, tapi juga masa depan pertanian Morotai,” celetuk Sadli Jusuf, sambil menyeruput kopi sachet di bangku tunggu dermaga.
Celetukan itu mungkin terdengar iseng, tapi menyimpan pesan mendalam: di tengah seremonial administrasi negara, ada bibit harapan yang ikut dibawa pulang.
Administrasi dan Akar Rumput
Bagi banyak orang, pengukuhan sebagai P3K adalah klimaks dari perjuangan panjang — mulai dari seleksi daring, verifikasi data, hingga tahapan pembekalan. Namun sesungguhnya, ini baru permulaan.
SK di tangan hanyalah tanda bahwa perjalanan pengabdian baru saja dimulai.
Yang menarik, para ASN ini tak pulang dengan tangan kosong. Bibit nanas Bogor — entah bagaimana — bisa menyelinap di antara koper dan kardus mie instan. Bibit itu menjadi simbol bahwa tugas negara tidak semata diukur dari absen dan laporan kegiatan.
Mereka tidak hanya pulang sebagai pegawai, mereka pulang sebagai penggerak kehidupan.
Bibit nanas itu rencananya akan ditanam di halaman kantor. Sebuah ide kecil yang membawa imajinasi besar: bagaimana jika kantor pemerintahan tidak hanya menjadi pusat birokrasi, tapi juga taman produktif?
Di Morotai — daerah yang masih bertarung dengan keterbatasan infrastruktur dan logistik — gagasan seperti ini bukan basa-basi, melainkan kebutuhan nyata.
Birokrasi yang Membumi
Sudah saatnya kita membayangkan birokrasi yang lebih membumi — secara harfiah dan metaforis.
SK memang penting, tapi tak kalah penting adalah bagaimana SK itu mengakar di tanah tempat kita bekerja.
Di sinilah, menurut hemat saya, inisiatif kecil seperti membawa bibit nanas punya makna strategis.
Itu menunjukkan bahwa pegawai negeri bukan sekadar mesin pelapor, melainkan agen kehidupan — yang menanam, merawat, dan memanen kebaikan. Baik dalam bentuk laporan, maupun buah nanas sungguhan.
Birokrasi yang membumi adalah birokrasi yang melihat tanah, bukan hanya data. Yang mengenal musim, bukan hanya jadwal dinas.
Kita butuh lebih banyak sosok seperti Ibu Lina — koordinator kepegawaian yang memikirkan masa depan pertanian. Kenapa tidak?
Morotai dan Mimpi di Pinggiran
Morotai bukan Jakarta, bukan pula Makassar.
Morotai adalah pulau di pinggiran Indonesia, namun sarat potensi. Di tempat seperti inilah, makna pengabdian diuji dan dirasakan secara nyata.
Di sinilah kita belajar, bahwa menjadi ASN tidak cukup hanya duduk di belakang meja. ASN juga harus turun ke lapangan, bertemu masyarakat, dan ikut menyiram tanaman.
Morotai juga mengingatkan kita, bahwa kemajuan tidak datang dengan gegap gempita, melainkan lewat langkah kecil yang konsisten.
Seperti menanam nanas, yang mungkin baru panen setelah satu atau dua tahun. Tapi bukankah begitu juga birokrasi yang sehat? Hasilnya tidak langsung tampak, tapi kelak bisa dipanen bersama.
Catatan untuk Masa Depan
SK di tangan, bibit nanas di pundak.
Kalimat ini mungkin terdengar lucu, tapi justru itulah semangat birokrasi baru yang kita butuhkan: profesional tapi tetap membumi, administratif tapi tetap produktif, tertib tapi tetap kreatif.
Bahwa mengabdi tidak harus kaku — bisa sambil tersenyum, sambil menanam, sambil percaya bahwa satu pohon nanas pun bisa menjadi simbol perubahan.
Maka izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah harapan:
Semoga dari halaman kantor Kemenag Morotai, kelak tumbuh barisan nanas yang manis — seperti semangat para ASN-nya yang kini resmi, sah, dan siap menanam masa depan.